Jakarta - Masa kepemimpinan Presiden Republik Indonesia (RI)
Joko Widodo dan dan wakilnya, Jusuf Kalla telah melewati 100 hari.
Memasuki masa itu, tiba-tiba 'badai' mengguncang pemerintahan Jokowi-JK itu.
'Badai'
itu menerpa ketika Presiden Jokowi mengungkapkan keinginannya hendak
mengangkat kepala Polri (Kapolri) baru. Jokowi mengatakan telah
menemukan calon yang tepat untuk menggantikan Kapolri Jenderal Polisi
Sutarman.
Hanya beberapa hari setelah pengumuman itu, tanpa disangka Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan calon tunggal kapolri Komjen Pol
Budi Gunawan (BG) sebagai tersangka. Dia diduga terlibat kasus
penerimaan hadiah atau janji terkait transaksi mencurigakan atau tidak
wajar.
Kasus itu diduga dilakukan mantan ajudan Presiden ke-5 RI Megawati
Soekarnoputri itu saat menjabat Kepala Biro Pembinaan Karir (Binkar)
Deputi Sumber Daya Manusia (SDM) Markas Besar Polri 2003-2006 dan
jabatan lainnya.
Rencana pengangkatan BG tersebut memicu
pro-kontra. Belakangan menjadi konflik terbuka antara KPK dan Polri,
setelah Mabes Polri menangkap Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto (BW). BW ditangkap selang 9 hari setelah BG ditetapkan sebagai tersangka.
Penangkapan BW dituding sebagai imbas dari penetapan status tersangka
BG. Banyak pihak yang tidak terima dengan aksi yang dilancarkan
Bareskrim Polri.
BW ditangkap usai mengantar anaknya ke sekolah, pagi ini. "Posisi
antar anak sekolah, setelah antar dibawa orang itu (Bareskrim Polri),"
ujar Johan, Jumat 23 Januari, di Jakarta.
Sejumlah tokoh dan masyarakat pun berkumpul di Gedung KPK dengan alasan menyelamatkan lembaga tersebut, 'Save KPK'.
Sebab konflik antara KPK dan Polri ini bukanlah yang pertama.
Disebut-sebut kisruh antar 2 lembaga penegak hukum ini sebagai Cicak Vs
Buaya jilid III.
Pemerintahan Jokowi-JK pun terguncang. Orang nomor satu di Indonesia
itu dianggap berada dalam tekanan partai saat mencalonkan BG. Ia pun
diminta bersikap tegas dan membuktikan janji kampanyenya untuk
mendengarkan suara rakyat dan pemerintahannya bersih dari unsur korupsi.
'Badai' tersebut memicu desakan publik agar Presiden Jokowi tak tinggal diam mengatasi gesekan 2 lembaga penegak hukum untuk kali ketiganya itu.
Jokowi melakukan langkah yang sama yang pernah diambil mantan
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono saat 2009 lalu. Turun tangan membentuk
tim independen untuk menengahi ketegangan antara 2 lembaga hukum, Polri
dan KPK.
Keputusan ini diambil setelah 2 lembaga penegak hukum itu 'menawan'
masing-masing pimpinannya. KPK menjerat calon Kapolri tunggal Komjen Pol
Budi Gunawan. Dan Polri membidik Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto.
Tim independen untuk menengahi KPK dan Polri itu mirip dengan
bentukan SBY saat mengatasi kasus Chandra Hamzah dan Bibit Samad, yang
ditetapkan tersangka oleh Polri pada 2009 silam.
Tim Independen bernama Tim 9
tidak hanya ditugaskan mencari fakta kasus yang menyebabkan polemik di
antara KPK dan Polri, tapi juga memberi masukan kepada Presiden Jokowi
untuk pembenahan hubungan antar lembaga hukum negara ke depan.
Sembilan
anggota Tim Independen tersebut adalah mantan Ketua Umum Pengurus Pusat
Muhammadiyah Syafii Maarif, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Jimly
Asshiddiqie, mantan Wakil Kepala Polri Komjen Polisi (Purnawirawan)
Oegroseno, Guru Besar Hukum Internasional UI Hikmahanto Juwana, pengamat
kepolisian Bambang Widodo Umar, mantan pimpinan KPK Tumpak Hatorangan
Panggabean dan Erry Riyana Hardjapamekas, sosiolog Imam Prasodjo dan
mantan Kapolri Jenderal Purn Sutanto.
Tim diketuai oleh Syafii Maarif, sementara Jimly Asshiddiqie menjadi Wakil Ketua dan Hikmahanto Juwana menjadi Sekretaris.
Dalam situasi politik yang memanas, pengamat politik Emrus Sihombing berharap agar masyarakat menyikapinya dengan dewasa dan tak mudah terprovokasi tanggapan isu liar yang kebenarannya belum terkonfirmasi.
Dukungan Tak Luntur
Meski diterpa 'badai', pemerintahan yang dipimpin Jokowi masih mendapat dukungan dari rakyat. Walau tak sedikit yang kontra dengannya.
Selama
100 hari kepemimpinannya, Presiden Jokowi dan Wapres JK dinilai telah
menghasilkan berbagai gebrakan kebijakan. Di antara yang paling populer
dan mendapatkan dukungan masyarakat, yakni penurunan harga bahan bakar
minyak (BBM) bersubsidi.
Dalam surveinya, lembaga survei Populi
Center menyatakan, kebijakan penurunan harga BBM itu mendapat dukungan
rakyat sebesar 93,8%. Tak cuma penurunan harga BBM, kebijakan Jokowi-JK
lain yang dinilai didukung masyarakat, yakni swasembada pangan 73,3%,
dan penenggelaman kapal asing pencuri ikan 72,8%.
Pengamat
politik dari UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Gun Gun Heryanto pun angkat
bicara dalam diskusi 'Menanti Ketegasan Jokowi'. Menurut dia, Jokowi
memiliki 4 strategi untuk menangani masalah tersebut.
Memanasnya
hubungan antara KPK dengan Polri membuat banyak bermunculan persepsi
terkait apa yang dialami Presiden Joko Widodo. Terlebih Tim 9 yang
dibentuk Jokowi untuk meredakan konflik KPK-Polri menyatakan pemilihan
Komjen Pol Budi Gunawan sebagai calon tunggal Kapolri bukan inisiatifnya
sendiri.
Pernyataan tersebut membuat banyak pihak beranggapan
Presiden Jokowi mendapat tekanan dari sejumlah pihak, termasuk dari
partai politik yang mengusungnya.
Di tengah kondisi ini, Jokowi menuliskan sebuah status di akun Facebooknya
yang berbunyi "Suro Diro Joyoningrat Lebur Dening Pangastuti". Kata
tersebut diketahui merupakan suatu ungkapan atau filosofi Jawa.
Sementara
Sekretaris Tim 9 Hikmahanto Juwono menanggapi santai terkait berbagai
pendapat dan penolakan dibentuknya Tim 9 untuk menyelesaikan konflik
Komisi Pemberantasan Korupsi-Polri. Guru Besar Hukum Internasional
tersebut mengatakan, dengan lugas bahwa inisiatif terbentuknya kelompok
tersebut berasal dari presiden dan bukan inisiatif mereka pribadi.
"Kita
tuh diundang loh sama Presiden. Jadi bukan tanpa sebab, tiba-tiba
datang dan merekomendasikan hasil penyelidikan kita ke Presiden.
Presiden itu kan sebenarnya berhak meminta masukan
dari siapa saja dan dari mana saja, baik lembaga hukum, pakar hukum
ataupun sahabat," ujar Hikmahanto kepada Liputan6.com, Jumat 30 Januari.
Bagi
Hikmahanto, keberadaan Tim 9 sebatas merekomendasikan hal-hal yang
menurut mereka baik dilakukan, tanpa intervensi dari Tim 9. Ia tidak
mengklaim masukan dari Tim 9 adalah yang paling baik.
"Tim 9
hanya mengumpulkan fakta-fakta yang kita dapatkan lalu rangkumannya kita
berikan ke Presiden. Keputusan akhirnya ya terserah Pak Presiden mau
dengar yang mana. Presiden berhak menentukan pilihan," ucap Hikmahanto.
info by http://news.liputan6.com
Minggu, 01 Februari 2015
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar